Fiction: Ingin Tahu

Lelaki yang duduk di samping sahabatku itu nampaknya tahu betul apa yang dirasakan oleh sahabatku selama bertahun-tahun terhadapnya. Hanya saja karena lelaki yang duduk disampingnya itu menurutnya adalah makhluk teraneh dan terasing yang pernah dia kenal, sampai detik ini pun dia tidak pernah tahu pasti perasaan lelaki itu padanya. Lelaki teraneh dan terasing yang dia sayangi, dan anehnya lagi sahabatku itu hampir selalu dapat mamahami dan merasakan apa yang lelaki itu rasakan, tapi dia tidak pernah memahami jalan pikiran lelaki itu. Baginya, memahami pikiran itu lelaki itu sama saja dia turun ke arena maze dan dia membutuhkan waktu yang panjang untuk menemukan titik akhirnya. Tapi, aku berusaha memahami sahabatku itu. Terkadang ada benang atau sebut saja sinyal yang tak nampak oleh mata manusia awam dan tidak bisa dipahami oleh orang lain, tapi khusus dirasakan oleh orang yang saling mencintai. Mungkin walau tanpa diungkapkan dengan kata-kata, rasa seperti “aku tahu apa yang kamu rasakan saat ini, aku paham tanpa kau mengatakannya padaku” memang ada benarnya. Entah siapa yang menghantarkan sinyal seperti ini, tapi ketika membaca raut wajah dan pandangan mata, bahasa apa yang tidak ku tahu itu terhantarkan begitu saja. 

Sahabatku itu adalah gadis tersetia yang pernah ku kenal. Setia atau bodoh tepatnya, tapi aku patut menghargai perasaan dan pengorbanannya selama ini demi menanti kepastian yang tak pasti datangnya dari lelaki yang dipujanya selama ini. Sahabatku itu merasa tahu betul apa yang dirasakan lelaki itu, tapi terkadang sahabat-sahabatnya, termasuk aku merasa perlu mangasihaninya dan mengenalkannya pada lelaki yang memang sudah pasti mencintainya.

“Aku tahu betul apa yang dirasakannya, tapi aku tak tahu apa alasannya dia tak pernah mau menunjukkannya kepada siapapun…tapi ketika hanya bersamaku, aku merasakan ada bahasa yang tak terucap dari bibirnya, yang ingin dia katakan..aku merasa dia punya perasaan yang sama denganku. Hanya saja dia bukan orang yang mudah mengatakan hal-hal seperti itu.”

“Boleh aku memintamu untuk menjadi editor untuk novel terbaruku?”, tanya lelaki itu pada si gadis. Lelaki itu duduk disampingnya dengan terus berkutat pada laptopnya. Melemparkan pertanyaan dengan nada permintaan tolong yang biasa lelaki itu minta padanya. Tanpa memandangnya atau menghindar untuk memandangnya, tapi yang jelas sahabatku cukup tahu bahwa ada perasaan tidak nyaman ketika lelaki itu memandang matanya.

“Tapi aku tidak terlalu percaya diri untuk jadi editor di karya besarmu itu”, jawabnya merendah dan sedikit mengharapkan sangkalan si lelaki dengan nada pujian yang biasanya dilontarkannya. Ekspektasi yang sedikit kurang perlu dirasa sebenarnya, tapi sahabatku cukup bisa menebak apa yang akan diucapkannya. Lelaki yang kata banyak orang paling sulit ditebak perasaan dan pikirannya, tapi sahabatku seperti memiliki daya magis yang bisa menyelami dunia di otak lelaki itu. Dan benar saja lelaki itu berpaling pada sahabatku, menghentikan pekerjaannya dengan sahabat setianya”sang laptop” dan mulai memujinya ,”Kamu tahu kenapa aku memilihmu menjadi editorku?”
Dengan wajah yang seolah tidak tahu apa yang akan dikatakan lelaki itu berikutnya, sahabatku menjawab,” Aku tidak tahu, kenapa?”

Lelaki itu nampak sangat berusaha untuk meneruskan perkataannya karena kata-kata yang akan diucapkannya itu nampaknya adalah kata-kata yang tergolong sangat sulit keluar dari bibirnya.
“Karena aku percaya kamu. Aku selalu tahu kamu bisa melakukannya. Kamu selalu berhasil membantuku dengan ide-ide spontanmu.” Tiba-tiba saja lelaki itu tampak sengaja memutus kata-katanya karena dia merasa sudah terlalu tidak biasa apa yang dia lakukan sedetik yang lalu.
“Iya, terima kasih..aku akan membantumu”, sahabatku menjawab. Tanpa memintanya pun, sahabatku sebenarnya akan dengan senang hati membantunya. Tapi, beberapa menit yang lalu, dia merasa ada malaikat yang membisikinya untuk melakukan hal ini. Dan benar saja ada beberapa potong kata manis yang keluar dari bibir lelaki itu. Kata-kata itu bagaikan magnet yang mampu menarik sahabatku untuk senantiasa membantu lelaki itu. Dia merasa malaikat telah menyampaikan hadiah kecil, buah dari kesetiaannya selama ini… 

Sebenarnya sahabatku itu sering kali melakukan upaya semacam menjauh dari kehidupan lelaki itu. Dia merasa perlu untuk memandang sebuah kehidupan dari perspektif yang lebih realistis. Tapi, apa daya…nampaknya ada tangan-tangan halus yang tak nampak bentuknya, menghantarkannya selalu ke dunia yang penuh dengan kehidupan lelaki itu. 

“Sudah berkali-kali aku berusaha untuk pergi menjauh darinya, tapi aku tak tahu kenapa seberapa jauhpun aku menghindar darinya, aku akan dipertemukan kembali dengan hal-hal yang ada hubungannya dengan dia”, cerita sahabatku setelah menerima tawaran menjadi editor novel terbaru lelaki itu.

Aku terkadang juga masih sering mempertanyakan konsep jodoh. Apa yang dikatakan jodoh itu? Lalu, bagaimana seseorang bisa dikatakan jodoh? Apakah mereka harus bisa hidup selamanya dan bahagia bersama sampai mati? Aku belum menemukan jawaban yang tepat untuk menjawab semua pertanyaan itu. Sahabatku itu juga merasa bingung apakah pria itu adalah jodohnya…tapi, dia percaya bahwa perkenalannya dengan lelaki itu merupakan salah satu yang dikatakan jodoh. 

Dia merasa lelaki itu telah banyak mengubah hidupnya. Dulu sahabatku itu adalah orang yang sangat serius memikirkan sebuah masalah dan apabila dia tidak bisa menyelesaikan masalahnya, dia akan seharian menangis di kamarnya. Tetapi, lelaki itu berhasil menghembuskan atmosfer yang berbeda padanya. Lelaki itu banyak mengajarinya bagaimana manusia mensiasati dan bertahan hidup. Sahabatku sekarang sangat menganut ajaran lelaki itu, “ Kita harus menerima apapun kesulitan yang kita dapat dalam hidup, itu merupakan corak tersendiri dalam kehidupan. Tapi, dalam menghadapinya itu perlu siasat tersendiri..janganlah dipikir terlalu dalam sehingga membuat kita terjerat dalam kemurungan dan keterpurukan. Senyummu manis, kenapa tidak kau hadiahkan kepada orang-orang di sekitarmu.”
Itulah perkataan lelaki tersebut yang akan selalu diingat oleh sahabatku. Dan benar saja itu mengubah banyak hal dalam kehidupannya. Sekarang aku bisa melihat senyum manisnya setiap hari, meskipun dia sedang dirundung kesusahan maupun kesedihan. Bila aku berada di posisinya saat ini, aku pun akan sulit melupakan rasa cinta yang besar pada orang yang telah berhasil mengubah hidupku.
Pagi itu, lelaki tersebut sedang duduk sendiri di selasar kampus, menunggu sahabatku…

“Maaf aku terlambat, kau sudah lama menungguku?”, dengan suara terenggah-enggah menyapa lelaki yang dengan cool-nya duduk menunggunya.
“Aku setengah berlari kesini, aku takut kau menungguku terlalu lama.”, sahabatku segera menduduki kursi kosong di sampingnya.
Dengan nada tenang dan senyum manis di bibirnya serta tanpa menanyakan apa alasannya terlambat, lelaki itu menjawab,” Tidak apa-apa.”
Seperti itulah lelaki itu, seberapa banyak sahabatku berceloteh, dia menanggapinya dengan tenang, wajah tersenyum manis, dan menjawab dengan singkat dan padat. Lelaki itu rupanya punya kemampuan yang sangat terbatas dalam mengutarakan pikiran secara verbal.
Tiba-tiba, lelaki itu berdiri, “Aku pergi sebentar ya…kau tunggu disini.”
Sahabatku menunggunya dengan penuh tanya, kemana sebenarnya lelaki itu pergi. Beberapa menit kemudian dia kembali. Dengan spontan dan tanpa memandang wajah sahabatku, dia menyodorkan dua macam minuman rasa buah,” Kau mau pilih yang mana?”
Sahabatku hanya melongo beberapa detik karena dia tahu betul kalau lelaki di sampingnya itu pasti telah mengumpulkan banyak keberanian untuk melakukan hal itu.
“Aku melihat kau seperti sangat kehausan. Kau pilih yang mana?”
“Dari mana kau tahu aku haus? Tidak usah repot-repot. Buatmu saja…”
“Kau jangan bilang begitu, aku memang sengaja membelinya untukmu.”, lelaki itu berkata dengan begitu terbuka tanpa berani memandang mata sahabatku.

Dengan tanpa banyak bicara sahabatku pilih salah satu dari dua minuman rasa buah itu. Lalu mereka mulai untuk mengobrol konsep novel yang akan ditulis lelaki itu.
Di luar jangkauan akal sehat manusia pada umumnya, sahabatku itu telah menyimpan botol minuman itu selama bertahun-tahun. Tahun-tahun yang telah dia jalani tanpa kepastian apapun dari lelaki itu. Lima tahun berlalu semenjak kejadian itu. Mereka menjalani kehidupan masing-masing dan sahabatku itu masih teguh pada kesetiaannya. Rupanya dia masih memelihara rasa cinta, sayang, serta setianya pada lelaki yang kurasa tak pernah mencoba untuk memahami perasaan sahabatku yang sakit memendam rasa yang begitu mendalam begitu lama.

Beberapa bulan kemudian, aku datang ke sebuah toko buku, seperti biasa aku menghabiskan waktu luangku disana untuk berburu buku-buku menarik yang bisa menjadi inspirasiku dan tempatku untuk mencerdaskan otakku yang jadi kurang waras karena kesibukan yang tiada hentinya selama hari kerja. Tiba-tiba mataku tertuju pada tumpukan buku keluaran baru, aku mencoba untuk mendekat dan tertarik untuk tahu lebih jauh. Mataku serasa langsung jatuh cinta pada buku bercover pemandangan siluet matahari di sore hari, pemandangan matahari terbenam dengan sesosok siluet wanita yang berdiri sendirian di tepi pantai. Judul bukunya “Ingin Tahu” dan tiba-tiba aku terbelalak karena aku tahu bahwa penulisnya adalah lelaki yang sangat begitu dicintai oleh sahabatku selama bertahun-tahun, lelaki yang sedikit banyak mengubah hidup sahabatku beberapa tahun ini, lelaki yang menurutku juga mencintai sahabatku tapi nampak menutupi perasaaannya dengan alasan yang tak jelas. Akupun langsung berusaha membuka halaman pertama, kemudian kedua, dan akhirnya di halaman ke tiga aku membaca sebuah tulisan yang mungkin akan mengejutkan atau bahkan bisa mematikan rasa sahabatku selama beberapa detik,
” Novel ini khusus ku persembahkan pada seorang wanita yang begitu lekat dalam kehidupanku beberapa tahun belakangan ini, yang senantiasa memberiku inspirasi, dan tak lelah membantuku di berbagai keadaan. Aku tak tahu bagaimana perasaannya saat ini, tapi aku ingin memberi tahu dia apa yang aku rasakan padanya selama ini. Terima kasih,Amelia….”
Aku tahu biasanya lelaki itu menulis cerita-cerita fiksi dalam setiap novel-novelnya, tak ada kesempatan untukku pada detik itu juga untuk melintas sejenak berpikir bahwa novel itu adalah novel fiksi se-genre dengan novel-novelnya yang lain. Satu kata terakhir, satu nama wanita, yaitu Amelia membuatku ingin cepat-cepat untuk membeli novel itu, membaca isinya, dan bahkan pada detik itu aku ingin segera membawa novel itu pada sahabatku. Dalam benakku saat itu, bukanlah sebuah kebetulan dan bahkan mungkin kesengajaan lelaki itu memilih nama sahabatku di lembar persembahan novel tersebut. Bukan berarti tak ada maksud dari semua ini. Dan bagaikan anak kecil yang kegirangan ketika melihat mainan kesukaannya dipajang di etalase sebuah toko dan dia tahu bahwa ayahnya akan membelikannya untuknya, aku segera tanpa pikir panjang membelinya.

Halaman pertama, kedua, dan seterusnya, kubaca buku itu tanpa bosan. Aku sengaja untuk menunda memberitahu sahabatku tentang berita mengagetkan ini. Dan benar saja dugaan dan rasa penasaranku terjawab sudah. Aku membaca banyak bagian yang mendeskripsikan pribadi sahabatku dan dari hasil membacaku aku dapat mengetahui bahwa lelaki itu ternyata dapat memahami sahabatku dengan baik. Walaupun komunikasi mereka selama ini terbatas pada hal-hal di luar urusan pribadi mereka. Tapi, rupanya lelaki satu ini punya kekuatan yang cukup teramat baik untuk memahami hal-hal yang tak kasat mata, seperti bentuk dari kepribadian, mimpi, dan prinsip hidup manusia. Namun, mengapa dia begitu bodohnya mempertanyakan perasaan sahabatku padanya. Begitu bodohnya dia tidak mengetahui semua kasih sayang yang terbentuk dan diberikan padanya dari seorang hawa yang sangat tulus menyayanginya. Mengapa lelaki yang punya kemampuan luar biasa dalam mengarang kata-kata indah dalam novelnya tak mampu menciptakan kata-kata indah untuk menyatakan perasaannya. Apa sebenarnya tujuannya jika dia selama ini nampak mengacuhkan perasaan sahabatku dan tak pernah berusaha maju menghampiri cinta yang sudah ada. Perasaan menyalahkan lelaki itu seketika muncul begitu saja dari dalam diriku. 

Seminggu kemudian aku datang ke rumah sahabatku. Tidak ada yang banyak berubah darinya. Dia tetap nampak seperti wanita cerdas dan gemar bekerja maupun belajar, itu nampak dari wajahnya yang kelelahan dan ketika membukakan pintu untukku aku melihatnya membawa sebuah buku bacaan yang dari judulnya saja aku tahu itu bukan buku yang dipilih banyak orang untuk dibaca di waktu bersantai. Aku merasa bahwa pengaruh lelaki itu masih lekat padanya, dia masih mempertahankan senyumnya tanpa menikmati hidup yang selalu diajarkan lelaki itu pada sahabatku. Tanpa ingin menunda memberinya kejutan, aku langsung memberikan novel itu padanya…
Dia menerimanya dengan raut wajah yang bertanya-tanya karena ketika aku memberikannya aku tidak berkata apa-apa. Dia langsung membaca judulnya dan nama pengarangnya…ketika dia membaca nama pengarangnya, aku melihat senyum kecil di wajahnya yang nampak kelelahan bekerja. Aku langsung membuka halaman persembahan yang pasti akan membuatnya sangat terkejut. Dan benar saja, dalam beberapa detik aku melihatnya tak mengubah ekspresi kagetnya. Belum selesai dia memasang wajah kagetnya, aku langsung membuka di halaman akhir novel itu.
“Terima kasih, Amelia…
Kau dimana sekarang?
Maaf,
aku baru mampu memupuk keberanianku
untuk mengatakan
bahwa aku sangat mencintaimu.”

Seketika aku melihat perubahan ekspresinya, wajahnya yang semula terkejut berubah menjadi merah dan itu membuatku takut untuk memulai pembicaraan lagi dengannya. Aku melihatnya seperti menahan nafas atau bahkan sejenis rasa sakit di dadanya. Beberapa detik kemudian aku melihatnya menitikkan air mata….

Aku cukup tahu kalau itu adalah tangisan bahagia, kumpulan air mata yang memang sudah sepaket dengan keikhlasan, penantian, pengorbanan, dan kasih sayang…
Tidak ada yang bisa disalahkan disini, sahabatku yang dengan bodohnya menanti ketidak pastian atau lelaki bodoh yang nampak membuang banyak waktu untuk mengetahui perasaan sahabatku. Tapi, sekarang berkat novel itu, aku tahu akan ada sepaket kebahagiaan pula yang akan datang pada kehidupan baru sahabatku.

No comments:

Find Me on Instagram