Raja Lebah


Tubuhnya besar dan berisi dibandingkan makhluk sebayanya. Matanya selalu berbinar untuk menyongsong hari. Setiap kepakan yang tercipta akan terasa semangat berburunya. Sayap-sayapnya kuat. Bahkan itu untuk menahan guyuran hujan deras dan terpaan angin yang berhembus kencang. Dia selalu berada di sudut itu setiap sore. Di sela-sela eternit teras rumahku, di sebuah benda bulat dengan lubang-lubang dipenuhi cairan manis yang menginfusnya setiap hari. Dalam rumah yang dengan susah payah dia bangun, semuanya memanggilnya raja lebah.

Mengaguminya adalah kata yang paling tepat kusematkan pada perasaanku yang kurasakan kepada makhluk itu. Tanpa kata semuanya tumbuh dan berkembang. Hidup tanpa perlu ada sebuah kesepakatan. Tapi eksistensi menghidupkan segalanya. Pertemuan dengannya setiap hari seperti menghidupkan lilin yang sudah lama padam. Lilin yang sumbunya sudah hampir musnah dan pastinya akan susah payah untuk menahan cahayanya untuk tetap hidup tiba-tiba menyala dengan terangnya.

‘Kamu ini kenapa begitu senang dengan hewan itu? Aneh… jangan-jangan kamu sudah tak berminat dengan manusia?’, sahabatku berujar suatu hari ketika mendapati aku yang asyik tanpa bosan duduk di tepi jendela dan menatapi kemana seekor lebah jantan hilir mudik terbang.

‘Dia gagah kan?’, aku menjawab dengan mata yang terus memandang makhluk kecil itu.
Temanku hanya bisa menanggapinya dengan wajah sejuta ekspresi keheranan.
Sejenak hening dan aku kembali berkata, ‘Aku tak pernah berani mendekatinya. Takut dia menyakitiku. Aku pernah terluka gara-gara mendekati sarangnya. Jariku bengkak seminggu.’ Dan aku pun hanya bisa tersenyum sambil mengingat kronologis kejadian sebulan yang lalu itu.

‘Ada ada saja. Jelas saja, baginya kamu adalah pengganggu. Dan dia hanya defensive.’ Dia menanggapi ucapanku.

‘Dia itu lebah yang jadi idola. Banyak lebah betina mengerumuni dan mengikutinya.’ Aku pun seperti menciptakan ekspresi penuh cemburu seketika.

‘Kenapa kamu tak sekalian saja menulis cerita yang lakonnya adalah lebah pujaanmu itu dan kau berperan jadi ratu lebahnya?’, temanku mengeluarkan celetukan dengan niat meledekku.

Dengan segera aku memalingkan wajahku padanya dan tersenyum mengiyakan.
Bagiku dia juga idola. Makhluk yang tak mungkin diraih. Hanya bisa dirasakan pesonanya. Memandanginya sampai bosan bisa jadi penawar lelah dan kesal. Dalam angan selalu bertanya bila aku memang terlahir sebagai ratu lebah, akankah dia jadi raja lebahku?

Jemariku tak pernah sanggup meraihnya. Sakit yang pernah kurasakan dulu membuatku jera untuk mendekatinya lagi. Manis madunya adalah harta berharganya yang satu-satunya bisa kurasakan. Dalam bayangan kepakan sayapnya segalanya nampak abu-abu. Perasaan yang tercipta adalah merasa yang terlahir tak tergapai. Tapi tak percuma. Merasakan pesonanya adalah yang terindah yang selalu akan dirindukan. Indah tanpa sisa. Bahkan lebih indah ketimbang aku harus sembunyi-sembunyi untuk merasakan madunya.

(Terinspirasi dari seorang ‘teman lama’ dan ‘Ratu Lebah’ oleh RAN)

No comments:

Find Me on Instagram