Belajar tentang Spiritualisme Kritis dan Estetika Banal Bersama Ayu Utami dan Erik Prasetya, Komunitas Salihara

Ayu Utami mengemukakan gagasan datangnya Spiritualisme Kritis.
Beberapa waktu yang lalu saya berkunjung ke Komunitas Salihara yang berada di Jalan Salihara, Pasar Minggu untuk mengahadiri dialog tentang Spriritualisme Kritis dan Estetika Banal bersama penulis Ayu Utami dan suaminya, fotografer Erik Prasetya. Jujur, sebelumnya saya belum begitu memahami apa itu Spritualisme Kritis dan Estetika Banal. Tapi, karena saya menikmati menulis, saya ingin tahu dan belajar apa itu Spiritualisme Kritis. Karena saya menikmati fotografi, saya ingin tahu dan belajar tentang Estetika Banal. Berbekal rasa ingin tahu dan minat saya dalam dua hal itu, saya datang ke sana.

Komunitas Salihara buat saya adalah salah satu surga bagi siapa saja yang mencintai seni, termasuk saya.  Tempat ini memberikan ruang dan kesempatan untuk para seniman dan penikmat seni untuk berekspresi, belajar, dan menikmati karya seni. Saya pun selalu ketagihan untuk datang ke sana lagi, lagi, dan lagi.

Ayu Utami dan Erik Prasetya yang selain sebagai pasangan suami istri dan seniman di bidangnya masing-masing, mereka juga menghasilkan karya bersama kali ini, sebuah buku tentang Spiritualisme Kritis dan Estetika Banal. Hasil diskusi mereka tentang dua hal ini mereka jadikan sebuah buku yang makin membuka wawasan dan menginspirasi para penulis dan fotografer maupun penikmat karya-karyanya. Buku terbitan Gramedia ini sudah dapat dinikmati dan didapatkan di toko buku terdekat.

Buku Estetika Banal dan Spiritualisme Kritis. Sumber: akun twitter Erik Prasetya.

Dalam kesempatan kali itu, Erik dan juga Ayu banyak bercerita tentang asal muasal datangnya pemikiran tentang Spiritualisme Kritis dan Estetika Banal. Erik yang bukan berasal dari Jakarta bercerita bahwa inspirasi tentang Estetika Banal datang ketika ia pertama kali datang dan pindah ke Jakarta. Saat itu, ia tercengang dan menemukan perbedaan yang besar antara suasana ibu kota dan daerah asalnya. Suasana Jakarta yang riuh menyajikan inspirasi tersendiri baginya. Seketika ia menemukan sisi seni dari keriuhan dan kondisi Jakarta yang ia lihat. Kota Jakarta menurutnya juga menghadirkan objek yang berbeda dengan kota besar lain di dunia. Mungkin di kota besar lain di dunia (terutama di negara-negara maju), orang bisa mengabadikan suasana kota dengan air sungainya yang jernih seperti di Jepang dan masyarakatnya yang berdandan atau berbusana berbeda dan fashionable seperti di kota-kota di negara-negara Eropa di kala musim dingin atau di Seoul, Korea Selatan dan Tokyo di Jepang. Tapi, di jalanan ibu kota di Jakarta berbeda, orang yang berdandan seperti yang disebutkan di atas lebih memilik mengendarai mobil. Sedangkan, orang-orang yang memilih menggunakan kendaraan umum akan memilih menggunakan pakaian senyaman mereka miliki dan harus rela berdesak-desakan atau menjadi bagian dari kemacetan atau kerumunan orang setiap harinya selama hari kerja. Ekspresi wajah yang kelelahan dan suasana tersebutlah yang dianggap Erik berbeda. Yang mana kota-kota besar di negara maju mungkin tidak miliki. Hal inilah yang membuat Erik tak lagi mencari sisi indah dari kota Jakarta. Sisi ‘Banal’ Jakartalah yang membuat Jakarta berbeda.

Erik Prasetya berbagi kisah tentang datangnya gagasan Estetika Banal.

Butuh perjalanan dan proses belajar oleh Erik sampai ia bertemu dengan gagasan Estetika Banal ini. Banal yang berarti ‘liar’ menggambarkan situasi atau objek yang ramai dan tidak fokus pada satu fokus saja. Dalam Estetika Banal, ada banyak sisi dan akan ada interaksi antar titik fokus yang ada. Ayu yang menyebut Estetika Banal sebagai menangkap makna sebelum konvensi/pembakuan ini berujar bahwa cara ini unik dan tetap menarik untuk dinikmati.

Pengaplikasian Estetika Banal mungkin akan terlihat dalam karya-karya street photography Erik. Di dalam foto-foto Erik, akan terlihat banyak titik fokus yang berinteraksi. Jadi tidak ada satu objek pun yang akan jadi fokus utama. Walaupun begitu, karyanya tetap menginggalkan pesan dan kesan bagi para penikmatnya. Erik pun menghabiskan banyak waktu untuk nongkrong di tempat yang sama berhari-hari demi mendapatkan satu foto yang berkesan mewakili situasi di tempat dan waktu tersebut. Misalnya saja, salah satu foto yang memperlihatkan sekumpulan orang berlalu lalang di jalanan Jakarta sepulang kerja, Jumat malam, dan masih mengenakan baju kerja. Dalam foto tersebut, ada satu wanita yang masih mengenakan baju kerjanya berjalan menembus desakan manusia yang lain yang juga pulang kerja. Walaupun sudah malam dan penuh lelah, terlihat ada guratan senyum bahagia di garis-garis wajah mereka. Ini menggambarkan situasi dan kondisi masyarakat Jakarta yang setiap hari pulang kerja malam dan akan ada rasa bahagia apabila Jumat malam tiba. Betapa bahagianya menyambut akhir pekan setelah bekerja keras selama beberapa hari sebelumnya. Buat saya ini menarik sekali. Sayang saya tidak sempat mengabadikan foto tersebut.

Salah satu foto karya Erik Prasetya yang menggunakan konsep Estetika Banal.


Karya Erik Prasetya yang lain yang menggunakan konsep Estetika Banal. Sering kali karyanya berbicara dan mampu mengundang cerita di benak penikmatnya.


Ayu Utami sebagai penulis yang selalu menunjukkan kekritisannya melalui tulisan-tulisannya juga menceritakan bagaimana ia akhirnya menemukan proses yang sudah ia lakukan selama ini dalam menulis sebagai Spiritualisme Kritis. Ayu Utami yang saya kenal melalui tulisan-tulisannya adalah penulis yang memiliki keingintahuan yang besar terhadap kehidupan. Hal-hal itu terbaca dari karya-karyanya yang saya nikmati selama ini. Ternyata melalaui dialog ini ia juga berujar bahwa berkarya itu memang sebuah proses berekspresi yang datang karena rasa ingin tahu akan satu hal. Nah, berarti betul pendapat saya. Menurut Ayu, Spiritualisme Kritis bukan serta merta kita boleh melawan Tuhan. Yang dimaksud di sini adalah jadilah spiritual, tapi tetap boleh kritis. Atau bila dijabarkan terbuka pada hal-hal spiritual tanpa menghianati nalar kritis. Bersikaplah kritis tanpa menutup diri pada hal-hal yang bersifat spiritual. Agama memang bersifat dogmatis, tetapi jalan seni melalui Spritualisme Kritis memberi jalan untuk lebih bersinergi terhadap perbedaan pemikiran atau pertanyaan-pertanyaan logis yang datang dari dalam diri kita yang ada. Keduanya saling melengkapi.

Ayu percaya bahwa penulis melalui sastra dan pelukis melalui lukisan berkarya di ruang kosong dan melahirkan sebuah karya seni dan Erik melalui foto percaya bahwa fotografi adalah sebuah proses berkarya dengan cara memilih objek atau momen yang tersedia. Dalam buku ini, mereka tidak berdiri sendiri-sendiri. Mereka hadir, bersinergi, dan memberikan napas baru terhadap seni.

(Resty Amalia)

No comments:

Find Me on Instagram