ASEAN Literary Festival 2015: Seputar Penerbitan Buku, Sejarah Penyair Besar Indonesia, dan Komunitas Nulisbuku


ASEAN Literary Festival ini merupakan acara tahunan yang digelar sekali dalam setahun. Untuk tahun ini, acara ini digelar selama seminggu dimulai dari tanggal 15-22 Maret 2015 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Untuk tahun ini, acara yang mempertemukan penulis dan juga penikmat literasi ini mengusung tema ‘Questions of Conscience’. Ada berbagai macam acara digelar di sana dari bazaar buku, stand komunitas, workshop, dan diskusi yang berhubungan dengan sastra, budaya, kepenulisan, dan literasi di ASEAN. Banyak tema menarik buat saya sebenarnya, seperti tema sastra anak yang dihubungkan dengan konsumerisme, cara mendesain perpustakaan dengan kreatif dan inovatif, sastra Asia dan sastra Amerika, pengaruh budaya Asia dalam sastra, dan lain-lain. Fasilitator dan pembicara dalam workshop dan diskusi tersebut juga dari berbagai macam negara, seperti negara-negara di wilayah ASEAN, Amerika, Eropa, dan Australia. Seperti misalnya dari Indonesia ada Joko Pinurbo, Hasan Aspahani, Clara Ng, Shintaro Uchinuma dari Jepang, Xu Weifeng dari China, Shin Young Duk dari Korea Selatan, Josephine Chia dari Singapura, dan lain-lain.

Semua dialog dan workshop tersebut tak bisa didatangi semua karena ada yang diadakan di hari kerja dan juga saya berhalangan hadir di hari tersebut. Saya hanya berkesempatan datang di hari terakhir festival dan mengikuti dua diskusi di stage utama di halaman Taman Ismail Marzuki. Diskusi yang pertama adalah diskusi bersama para editor dari beberapa publisher, seperti Windy (pimpinan redaksi Gagas Media), Hety Rulsi (editor Gramedia Pustaka Utama), Reni (editor Kata Bergerak), dan Imam Riskianto (editor Bentang Pustaka). Di dalam diskusi ini sebagian besar peserta adalah penulis dan juga orang yang ingin menerbitkan tulisannya melalui major publisher. 

Dari kiri ke kanan: Pimpinan redaksi Gagas Media, editor Kata Bergerak, editor Gramedia Pustaka Utama, editor Bentang Pustaka.

Windy: Pimpinan Redaksi Gagas Media.

Imam Riskianto, editor Bentang Pustaka.

Hety Rulsi, editor Gramedia Pustaka Utama.


Para editor banyak berbagi informasi menarik seputar dunia penerbitan buku. Diskusi menarik ini diawali dengan pemaparan kriteria tulisan yang diterima dan kemudian diterbitkan oleh masing-masing penerbit. Setiap editor memaparkan hal serupa bahwa tiap penerbit memiliki kriteria naskah yang nantinya akan diterbitkan. Jadi, penulis juga harus rajin mencari tahu dan mengenal penerbit untuk tahu naskah seperti apa yang akan diterbitkan oleh penerbit tersebut. Sehingga penulis tidak akan salah kirim. Misalnya, penulis mengirimkan naskah tentang agama sementara penerbit tidak menerima naskah seperti itu. Carilah penerbit yang memang satu aliran dan satu visi serta misi dengan penulis. Hal ini tentunya tidak mudah.

Sebagai informasi, seperti yang diceritakan para editor ketika diskusi tersebut, Gagas Media senang dengan penulis yang bisa menulis di berbagai genre, tetapi sejauh ini belum membuka kesempatan bagi naskah yang berbau agama untuk diterbitkan. Gramedia Pustaka Utama membuka kesempatan yang luas untuk berbagai macam genre dan kini sedang membuka kesempatan bagi naskah fantasi yang memiliki rasa Indonesia untuk diterbitkan. Bentang Pustaka juga membuka kesempatan bagi naskah dari berbagai genre untuk diterbitkan dan kumpulan cerita pendek dengan satu benang merah pun memiliki kesempatan untuk diterbitkan di sini. Poin terakhir menarik mengingat sedikitnya penerbit yang mau menerbitkan kumpulan cerpen. Alasan hal tersebut pun dipaparkan oleh beberapa editor saat itu. Antara lain karena memang pemasarannya yang cukup sulit, kecuali penulis merupakan penulis yang secara personally dan karyanya sudah dikenal oleh pembaca. Kata Bergerak (Motion Publishing) memberikan kesempatan yang cukup langka pada penulis untuk menerbitkan kumpulan puisinya.

Masing-masing editor pun berbagi tips pengiriman naskah pada diskusi ini. Ada penerbit yang mau menerima naskah dalam bentuk soft file dengan pengiriman melalui e-mail, seperti Bentang Pustaka dan Kata Bergerak. Sedangkan, penerbit seperti Gagas Media dan Gramedia Pustaka Utama serta beberapa penerbit lainnya pun ada yang mengharuskan pengiriman naskah dalam bentuk cetak. Para penerbit menyampaikan beberapa syarat yang sebaiknya dilakukan oleh para penulis agar lebih mudah dalam penerimaan naskah, seperti misalnya penulisan dengan jenis dan ukuran huruf yang standar yang diminta oleh penerbit, penulisan dan gramatikal bahasa yang harus sangat diperhatikan (seperti kata yang tidak disingkat-singkat dan penggunaan tanda baca yang baik dan benar sehingga memudahkan para editor untuk membaca naskah penulis). Sinopsis lengkap (dalam hal ini bukan sinopsis yang biasa ada di halaman belakang buku sebagai teaser buku) sangat perlu dilampirkan. Sinopsis yang menarik akan menarik para editor untuk membaca lebih lanjut naskah penulis. Menurut saya, mencari tahu apa mau penerbit dan kriteria seperti apa yang diinginkan dan dicari penerbit penting dilakukan sebelum penulis mengirimkan dan menyerahkan naskahnya ke penerbit.

Saya pun sempat menanyakan lamanya beberapa penerbit memberikan feedback terhadap naskah kita. Karena berdasar pengalaman saya, rata-rata penerbit memberikan feedback di luar batas maksimal yang dijanjikan di awal. Saya paham karena banyaknya pekerjaan yang para editor lakukan. Para editor ini pun memaparkan alasan serupa yang seperti saya bayangkan. Banyaknya pekerjaan dan deadline yang mereka miliki menjadi penyebab keterlambatan tersebut. Dalam hal ini, penulis diperbolehkan untuk aktif menanyakan kabar naskah tersebut kepada editor, baik secara langsung, telepon, ataupun e-mail.

Yang saya sangat pelajari dari diskusi ini adalah ada perbedaan proses pada saat penulis menulis dan menghasilkan karya dengan proses ketika naskah ditawarkan dan siap diterbitkan oleh penerbit. Menulis dan menghasilkan karya merupakan proses personal yang dimiliki penulis, di mana penulis memiliki hubungan yang langsung, dekat, dan dalam dengan naskahnya. Tetapi, ketika karya tersebut akhirnya ditawarkan kepada penerbit, proses personal ini menjadi lebih kompleks. Hal tersebut dikarenakan banyak pertimbangan yang harus dilakukan oleh penerbit, seperti marketing, penjualan buku, pasar buku, tren pasar, pasar pembaca, dan lain-lain. Jadi, ketika karya penulis ditolak oleh penerbit, bukan berarti karya tersebut tidak baik, mungkin saja karena ketidakmampuan naskah tersebut memenuhi target yang penerbit inginkan. Saya yakin bahwa tiap naskah memiliki pembacanya masing-masing. Percayalah! Saya pun sering kali menemukan naskah yang saya anggap bagus sekali dan sangat saya suka di indie publisher atau bahkan teman yang menerbitkan karyanya sendiri dengan biaya sendiri. Bisa jadi kita kurang menyukai karya yang sudah menjadi best-seller. Menurut saya, selera orang berbeda-beda. Tapi, alangkah baiknya jika penulis pun mau belajar melalui feedback yang penerbit berikan ketika naskah yang ditawarkan ditolak. Yang penting menurut saya, terus saja menulis! Jangan berhenti berkarya!
Moderator acara diskusi siang itu.

Setelah mengikuti diskusi dengan para editor, saya pun mengikuti diskusi dengan tema ‘Blast from The Past’ dengan Joko Pinurbo dan Hasan Aspahani. Diskusi ini membicarakan sejarah hidup Chairil Anwar dan Sitor Situmorang.  Diskusi kali ini sekaligus pemberitahuan kepada peserta bahwa Hasan Aspahani telah mengeluarkan buku yang menuliskan sejarah hidup Chairil Anwar. Dalam diskusi ini, Joko Pinurbo dan Hasan Aspahani banyak berbagi kisah tentang perjuangan hidup, karya-karya, serta keunikan dari Chairil dan juga Sitor. Buat saya ini menarik sekali karena menambah wawasan saya tentang sastrawan Indonesia serta mengenal lebih dekat kisah dan juga karya dua sastrawan hebat tersebut. Karena diskusi inilah saya makin memahami mengapa Chairil Anwar dan Sitor Situmorang menjadi fenomena dan kepergiannya dianggap sebagai kehilangan yang besar untuk dunia sastra dan literasi Indonesia.

Joko Pinurbo
Hasan Aspahani
 
Sebelum pulang, saya pun menyempatkan mengikuti beberapa diskusi yang lain, berburu buku di bazaar buku, dan mampir ke stand komunitas di mana stand Nulisbuku ada. Di sana saya bertemu dengan Mbak Ollie. Stand Nulisbuku menyediakan satu space untuk para pengunjung untuk meninggalkan komentar dan juga menjual buku-buku yang diterbitkan melalui Nulisbuku.

Bazaar buku

Mampir di stand Kata Bergerak dan membeli satu buku kumpulan pusi tulisan Adimas Immanuel, Pelesir Mimpi. Kebetulan sekali penulisnya sedang ada di stand Kata Bergerak
Stand Komunitas, Nulisbuku.
Bersama Mbak Ollie, Nulisbuku.

Corat coret sedikit. Meninggalkan sesuatu di stand Nulisbuku.


Mampir sebentar ke diskusi yang lain.

ASEAN Literary Festival merupakan salah satu ajang yang selalu dinantikan bagi para pecinta literasi. Semoga pengadaannya menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Saya pun selalu menantikan kehadirannya dengan tema-tema menarik lainnya. Begitu pun dengan kamu saya rasa.


Salam literasi untuk semuanya :)

4 comments:

jogjaready.com said...

Salam literasi...

Euisry Noor said...

Wah, menarik bgt acara2nya. Aku juga sebenarnya ingin bgt datang, tapi gak jadi, hiks2... Semoga kesampaian hadir dia acara serupa berikutnya...

Ani Berta said...

Seru banget ih Mba :)
Hajatan Okky ya hehehe....tiap tahun ada ini.
Tgl 18 mau ikut ketemu Dee Lestari gak?

Resty Amalia said...

@Jogjaready: Salam literasi juga :)

@Euisry Noor: Iyaa, ini tiap tahun ada kok. Smg bisa hadir di acara tahun depan atau acara2 serupa :)

@Mba Ani: Iyaa mbaa, seruuuu :)

Find Me on Instagram