Saya tentang Pernikahan

photo credit: Photo by Brooke Cagle on Unsplash
Topik ini tiba-tiba muncul sangat kuat di benak untuk ditulis belakangan. Mungkin karena momennya tepat, pascalebaran. Lebaran buat saya adalah salah satunya tentang bersilahturahmi dengan banyak sanak saudara atau kenalan-kenalan lama. Dalam pertemuan-pertemuan yang jarang terjadi, yang tak selalu setahun sekali, entah kenapa banyak pertanyaan yang terlempar pertama kali ke saya adalah “Kapan nikah?” bukan menanyakan kabar saya.

Bayangan tentang pernikahan

Jika ditanya kapan target saya menikah, sejujurnya saya dari remaja membayangkan saya akan menikah di usia 20-an akhir atau menjelang kepala tiga. Tak pernah terbersit di kepala bahwa saya akan menikah muda. Bukan berarti menganggap menikah muda itu tak baik, tapi ini soal pilihan. Entah mengapa saya tak pernah bermimpi sedikit pun akan sebuah pernikahan di usia muda.

Bisa jadi karena kebanyakan perempuan di keluarga saya menikah di usia 26 ke atas. Bisa jadi juga karena saya suka mencoba banyak hal dan berpikiran bahwa saya masih ingin mencoba banyak hal dengan bebas dan mandiri. Bisa juga karena beberapa teman yang sudah menikah memberi wejangan kepada saya saat itu untuk berpuas-puaslah melakukan banyak hal sebelum menikah. Bisa juga karena prediksi dari beberapa teman kuliah yang mengatakan saya akan jadi anak terakhir yang menikah di kelas kami secara tak sadar telah menjadi doa. Entahlah. Tapi, yang jelas saya tak pernah membayangkan kebahagiaan akhir saya adalah hanya dari sebuah pernikahan. 

Dan keinginan saya yang tak pernah jadi doa khusus itu terjadi. Di usia menjelang kepala tiga, pernikahan dalam hidup saya pun belum terjadi.

Pernikahan dalam pandangan masyarakat



Tak pernah ada yang tahu usia berapa yang tepat untuk menikah. Membaca berbagai sumber pun, tetap ada berbagai versi. Berbagai pendapat dan penelitian sepakat pada satu benang merah bahwa pernikahan baik dilakukan di masa sepasang orang sudah siap dan matang. Di usia berapakah itu? Kesiapan dan kedewasaan itu relatif. Ya, belum tentu usia sudah dianggap dewasa, tapi ternyata belum siap dan dewasa secara kepribadian. Ditambah lagi dengan keadaan tiap orang yang berbeda-beda. 

Nyatanya, dalam masyarakat tertentu, usia sepertinya berlaku. Di mana teman-teman sebaya atau sekitar sudah menikah, kamu dianggap seharusnya sudah menikah. Ketika kamu sudah lulus kuliah atau mulai bekerja, kamu dianggap seharusnya sudah menikah. Ketika kamu sudah berusia di atas 25 tahun, kamu dianggap seharusnya sudah menikah. Itu yang terjadi di masyarakat di sekitar saya.

Tapi, pernahkah mereka tahu, kenapa saya belum menikah sampai saat ini di usia saya menjelang kepala tiga?

Mereka tak pernah tahu. Kalaupun mereka berusaha untuk tahu, saya juga tak nyaman untuk mengumbar kehidupan pribadi saya. Lalu, yang terjadi kemudian adalah persepsi-persepsi orang yang berkeliaran. Tak jarang, ada kabar tertentu berhembus yang saya heran dari mana datangnya. Misalnya saja, beberapa tahun lalu ketika saya masih kuliah, beredarlah kabar kalau saya akan bertunangan. Saya pun heran karena berpikiran untuk bertunangan dengan seseorang pada saat itu saja tidak. 

Kadang masyarakat “lebih tahu” banyak daripada saya sendiri yang menjalani hidup.

Kenapa saya belum menikah

photo credit: theodessey
Beberapa waktu lalu, seorang teman mengirimi saya sebuah link web series tentang alasan seseorang belum menikah. Video-video itu menggambarkan alasan orang-orang belum menikah, yang antara lain karena cinta sejatinya tertambat pada seorang sahabat yang memutuskan menikah dengan orang lain, orang tua yang tak kunjung memberikan restu, berkali-kali dikecewakan lelaki, trauma menjalani suatu hubungan, kekasih yang meninggal, dan lain-lain.



Jika dalam banyak kasus teman-teman saya yang belum menikah, alasan-alasan di atas memang benar adanya. Tak selalu seperti anggapan masyarakat jika belum menikah itu karena terlalu asyik kerja, terlalu asyik berpetualang, dan lain-lain.

Pernahkan mereka tahu kenapa seseorang belum memutuskan untuk menikah?

Pastinya ada alasan yang dalam. Orang-orang ini pastinya ingin memutuskan untuk menikah bukan hanya karena sudah dianggap terlalu tua dan belum menikah, ingin dianggap sebagai anggota masyarakat yang “normal” (dalam hal ini sesuai dan seiring dengan norma yang diyakini baik dan benar oleh masyarakat).

Saya tentang pernikahan

Masa setelah kelulusan kuliah, teman-teman terdekat saya mulai satu per satu menikah. Pada mulanya, saya masih tidak apa-apa. Namun, ketika tertinggal hanya saya yang belum menikah dan yang lainnya sudah punya satu bahkan dua anak, itu mulai di kisaran usia saya 27 tahun, saya mulai tidak nyaman ketika harus berkumpul di rumah keluarga mereka. Misalnya, ketika sedang lebaran atau ada acara khusus tertentu.

Pertanyaan bukan lagi sekadar “Kapan nikah?”. Namun, pertanyaan itu sudah bertransformasi menjadi sebuah interogasi dan sesi ceramah tentang pentingnya menikah sebelum saya dianggap terlalu tua secara keyakinan masyarakat sekitar. Ketika saat-saat itu tiba, saya selalu membatin. Pernahkah mereka tahu, kenapa saya belum menikah sampai saat ini?

Belakangan, saya sering merenungkan tentang pernikahan itu sendiri. Apakah ini jalan satu-satunya untuk bahagia? 

Rasa-rasanya kok tidak karena nyatanya banyak yang bilang bahwa menikah itu pun tak luput dari masalah. Nyatanya, saya bahagia bisa berkumpul dengan keluarga, punya banyak teman, bisa belajar hal-hal yang saya suka, bisa bekerja dengan nyaman dan bahagia, bepergian ke banyak tempat baru, memberi dan membahagiakan orang lain, dan lain-lain.

Tapi, ketika saya kembali bertemu dengan masyarakat yang mempertanyakan kapan saya menikah, saya merasa dianggap menjadi manusia yang “kurang”. Padahal di dalam pribadi saya sendiri, saya bahagia atas hal-hal yang saya jalani dan lakukan. Walaupun semuanya tak berjalan sempurna, tapi saya bersyukur karena saya diperkaya akan suka dan dukanya kehidupan.

Seperti layaknya saya memutuskan untuk melakukan suatu hal, saya harus siap, yakin, dan bahagia atas apa yang saya pilih dan jalani. Ini berlaku juga dalam pernikahan. Apalagi memutuskan untuk menikah adalah sebuah keputusan yang besar dan penting. 

photo credit: huffingtonpost
Buat saya, menikah bukanlah sebuah perlombaan. Bukan tentang siapa yang paling dulu menikah itulah yang menang. Tak ada target tertentu untuk menikah. Saya pun menghargai setiap keputusan orang di sekitar saya untuk menikah. Berapa pun itu usianya. Entah ketika kuliah, lulus kuliah, sudah bekerja. Seperti halnya saya menghargai keputusan orang-orang di sekitar saya yang memutuskan untuk belum menikah atau tidak menikah. Saya yakin mereka punya alasan tersendiri. Banyak dari alasan mereka yang saya juga tidak tahu. Mungkin alasan mereka bisa jadi sangat berat dan tak mampu saya lalui jika itu terjadi pada hidup saya. Saya tak pernah tahu.

Dan, saya meyakini bahwa tiap orang memiliki waktu terbaiknya untuk pada akhirnya yakin dan siap. Tiap orang memiliki waktu terbaiknya masing-masing untuk bahagia dan memutuskan untuk menikah.




4 comments:

Pikiran Random said...

Buat saya, menikah bukanlah sebuah perlombaan. << sepakat sama ini.

Kathy Debora said...

Setuju sekali Mba Resty. Di usiaku yang mendekati kepala tiga juga sering ditanya seperti itu dan bahkan mama pun ikutan mendorong agar cepat menikah tanpa tahu alasan di balik keengganan untuk menjalani suatu hubungan.

FitriYenti said...

Mbaa..tulisannya menginspirasi.. Kangen sm mba resty

pritahw said...

Halo mbak, salam kenal yaaa... Hm, aku pernah tuh mbak ada di posisi yg mbak alami. Pas usia menjelang 30 persis. yg aku lakukan akhirnya kontemplasi diri dan makin curhat sama Allah ttg hal2 yg perlu diperbaiki secara pribadi, dan alhamdulillah setelahnya ada pintu hidayah yg terbuka.

Insyaallah seperti kata mbak, pasti tiap org akan tiba di pernikahan dgn waktunya masing2. Memang pernikahan itu bukan akhir kebahagiaan, tapi awal mula kebahagiaan krn penyempurna separuh ibadah, hehe. Barakallahu mbak^^

Find Me on Instagram